Tuesday, June 12, 2012

RESUME/RINGKASAN MATERI AL-ISLAM

RESUME/RINGKASAN MATERI AL-ISLAM
SMSTR II KELAS J.K. FAHUM UIR 2012
(Untuk pengembangan materi/bahasan, silahkan ditelusuri website yang relevan dengan materi tersebut)
 ---------------------------------------------------------

AKHLAK BERTETANGGA

1.    Saling bersilaturrahmi
2.    Saling menjaga
3.    Saling berbagi

AKHLAK BERTAMU

1.    Mengucapkan salam
2.    Masuk, bila dipersilahkan masuk

AKHLAK RAKYAT KEPADA PEMIMPIN

1.    Menta’ati pemimpin yang adil
2.    Mengingatkan pemimpin yang salah

AKHLAK PEMIMPIN KEPADA RAKYAT

1.    Menjaga keselamatan jiwa rakyat
2.    Menjaga keselamatan harta rakyat
3.    Menjaga kehormatan rakyat
4.    Menjaga kesucian nasab/keturunan rakyat
5.    Menjaga kedaulatan Negara

KONSEP DAKWAH DALAM ISLAM

1.    Dakwah adalah kata yang khusus dalam Islam
2.    Dakwah berarti mengajak orang lain menuju jalan Allah SWT dan kebenaran
3.    Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT
4.    Rasulullah Muhammad SAW merupakan pendakwah pertama kepada ajaran Islam
5.    Dakwah meliputi persoalan teologi, syari’ah, akhlak dan institusi
6.    Pendakwah merupakan pewaris para nabi
7.    Dakwah harus dilakukan dengan cara yang bijaksana, pemberian nasehat yang baik, berdialog dengan baik, dan toleransi dalam menerima perbedaan
8.    Tidak boleh ada rasa putus asa dalam berdakwah

SOAL BAYANGAN MATERI AL-ISLAM

1.    Jelaskanlah akhlak bertetangga dalam pandangan agama Islam!
2.    Salah satu adab bertamu dalam Islam adalah mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah. Jelaskan alasan saudara tentang keharusan memberi salam tersebut!
3.    Bagaimanakah akhlak rakyat kepada pemimpin?
4.    Jelaskanlah akhlak pemimpin kepada rakyat dalam pandangan Islam?
5.    Jelaskanlah konsep dakwah dalam Islam!

Saturday, May 19, 2012

Keutamaan Ilmu*

Karya: Nurfatmawati
Peminat masalah pendidikan,
berdomisili di Kecamatan Kubu Babussalam
 
Ilmu membuat pemiliknya menjadi terjaga
Ilmu pula yang membuatnya jadi mulia
Karena ilmu ia dipandang
Juga karena ilmu ia diperhitungkan

Meski pemilik ilmu seorang belia
Namun ilmulah yang menjadikannya dipertua
Seperti difirmankan Allah SWT
Didalam Kitab SuciNya yang terjaga
Kepada yang berilmu diberikan derajat kemuliaan

Ditinggikan derajat orang yang beriman
Diangkat derajat orang berilmu
Bersyukurlah kepada Allah SWT
Berterima kasihlah kepada orang tua dan guru
Karena merekalah yang membekali kita ilmu

Bahagia hidup di dunia
Selamat pula di alam akhirat
Terhindar kita dari api neraka
Semua bisa di dapat dengan ilmu
Begitulah keutamaan ilmu

*) Dimuat di Posmetro Rohil, Rabu, 16.5.2012

Friday, May 4, 2012

Doamu Ibu …

Tak terasa sudah lima tahun Ma’wa sekolah
Pagi diantar petang di jemput lagi
Sebuah pengorbangan untuk Ma’wa
Begitulah yang terjadi setiap hari

Sesaat lagi Ma’wa naik kelas
Setahun lagi tamatlah sudah
Harapan Ma’wa telah bersekolah
Karena itu doakan Ma’wa ya

Kini Ma’wa berdoa selalu
Semoga Ma’wa sehat selalu
Sukses belajar menuntut ilmu
Karena itu …
Ma’wa rindu doamu ibu …

****
Karya: Camelia Husnul Ma’wa
Siswi Kelas V MI Al-Washliyah Sungai Majo,
Kec. Kubu Babussalam

Saturday, April 28, 2012

Munajat Guru

Karya: Husni Tamrin
Guru SMAN 2 Kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir

****

Seperti Imam Syafi’i yang mengadu
kepada Imam Waki’ sang guru
tentang susahnya menjaga ilmu
kamipun begitu

Memberi sang guru akan penerang
penunjuk jalan memudahkan hafalan
jauhilah maksiat dan semua kesalahan

Ketahuilah! Ilmu adalah cahaya
cahaya Tuhan yang takkan diberikan
kepada sesiapa pelaku kenodaan

Ilahi, Pengenggam alam
bukakan kami pintu pengetahuan
selaku pendidik kami jadi acuan
pun tingkah laku kami jadi panutan

Ilahi …,
khilaf kami mohon tunjukkan
ketidaktahuan kami mohon tuntunan
kepadaMu kami bentangkan tangan
ini munajat guru di keheningan malam

***

Monday, April 23, 2012

Anakku, Lanjutkan Pendidikanmu!

Karya: Husni Tamrin, S.HI.
Guru SMAN 2 Kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir.

ANAK-anakku …,
pelaksanaan Ujian Nasional (UN) usailah sudah
namun janganlah berpuas hati terlebih dahulu
teruslah berdo’a kepada Allah SWT
dan mintailah ridho kedua orang tua
semoga anak-anakku lulus semua

ANAK-anakku …,
hiasilah dirimu dengan ilmu
teruslah kalian menuntut ilmu
belajar itu jangan sampai merasa jemu
kelak engkau nanti melangkah tak lagi ragu

ANAK-anakku …,
do’a guru-gurumu akan selalu menyertaimu
takut dan bertakwalah kepada Allah SWT selalu
shalat dan mengaji jangan kau lupakan
karena itu adalah sumber utama ilmu pengetahuan

ANAK-anakku …,
Lanjutkan pendidikanmu.

Telah dimuat di Posmetro Rohil, Hal. 3 School Zone.

Belajar di Pesantren, Siapa Takut?

Oleh: Siti Salmiah

Heboh Ujian Nasional (UN) untuk tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK belumlah usai. Hal yang paling mendebarkan saat ini tentu saja menunggu hasil ujian yang akan diumumkan kemudian, sedangkan untuk tingkat SD/MI UN belum dimulai lagi. Selain memikirkan hasil UN ini, sebagian dari orang tua siswa dan siswa itu sendiri juga dibingungkan tentang rencana kemana akan meneruskan pendidikan lagi setelah selesai dari jenjang setingkat SD/MI atau SMP/MTs ini? Beraneka ragam lembaga pendidikan mungkin sudah berkeliaran didalam pikiran orang tua siswa dan siswa itu sendiri, namun ada juga yang belum memiliki gambaran sama sekali.

Sebagai putri daerah yang berasal dari Rokan Hilir, Mia (Siti Salmiah) ingin berbagi pengalaman belajar  di Pondok Pesantren Darel Hikmah Pekanbaru. Mia adalah lulusan MTs Al-Washliyah Desa Sungai Majo Kec. Kubu Babussalam asuhan Ust. Mahmud Intin pada tahun 2010 lalu. Setelah lulus dari MTs tersebut, Mia diusulkan oleh abang Mia, Husni Tamrin untuk meneruskan ke Pesantren saja, dan usulan ini juga diridhoi oleh orang tua Mia yang tercinta, Apak Jamil dan Omak Naimah. Walaupun waktu itu Mia ragu, namun akhirnya Mia tetap melangkah maju.

Bulan Juli 2010 adalah awal Mia belajar di Pondok Pesantren Darel Hikmah untuk tingkat Madrasah Aliyah (MA). Perlu diketahui bahwa di Pondok Pesantren Darel Hikmah ini tersedia jenjang pendidikan untuk tingkat TK, SD, MTs, MA dan SMK. Dan kehidupan di Pesantren tentu saja berbeda dengan kehidupan di rumah atau di rumah kos. Kebetulan di Pondok Pesantren Darel Hikmah ini semua siswa atau santri-nya wajib untuk tinggal di asrama yang sudah disediakan oleh pihak Pondok Pesantren.

Di Pondok Pesantren ini pulalah Mia dibina dan dididik oleh para ustadz dan ustdzah selama 24 jam. Kehidupan di Pesantren penuh dengan kegiatan-kegiatan yang bernilai pendidikan, mulai dari bangun pagi sampai kita tidur lagi di malam hari. Di pesantren ini makan minum sudah disediakan, walaupun tak jarang kita bertemu dengan sayur tahu dan tempe, namun itu juga dalam rangka membina nafsu makan kita untuk tidak terlalu rakus pada semua makanan.

Semua santri diwajibkan untuk mengikuti shalat berjamaah lima waktu di mesjid Darul Hikmah. Setelah melaksanakan shalat subuh, semua santri MTs mengaji Al-Quran di mesjid dan santri MA/SMK wajib mengaji dan membahas Kitab Kuning di kelas dibimbing oleh ustadz dan ustadzah. Setengah jam setelah itu barulah santri bersiap-siap sarapan pagi, dan mengikuti sekolah formal di kelas yang juga berada di dalam komplek Pondok Pesantren Darel Hikmah itu. Belajar formal untuk tingkat SD/MTs/MA/SMK di Pesantren ini dimulai dari jam 7.15 pagi sampai jam 12.00 siang. Setelah itu semua santri wajib mengikuti shalat zuhur berjamaah di mesjid dan setelah itu barulah makan siang, yang masakannya sudah disiapkan dari dapur umum Pondok Pesantren.

Kemudian pada jam 1.45 siang sampai jam 3.00 sore belajar formal lagi. Setelah itu barulah istirahat untuk shalat ashar. Setelah shalat ashar, santri dipersilahkan untuk mengikuti kegiatan tambahan sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti tilawatil Qur’an, pencak silat Tapak Suci, Pramuka dsb. Namun ada juga sebagian santri yang menggunakan waktu itu untuk mencuci pakaian atau belajar kelompok. Kemudian sebelum shalat maghrib, para santri terlebih dahulu makan malam, sehingga setelah maghrib menjelang shalat isya, santri MTs mengaji Al-Quran di mesjid sedangkan santri MA/SMK kembali mengaji dan membahas Kitab Kuning.

Setelah shalat isya, semua santri akan diberikan tambahan kosa kata Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dan kemudian belajar malam baik di mesjid ataupun di kelas yang diawasi juga oleh para majelis guru yang memang tinggal di dalam komplek Pondok Pesantren itu. Pada jam 10.30 malam, semua santri sudah harus kembali ke asrama masing-masing dan tidur. Di pesantren ini komunikasi sesama santri diwajibkan menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Inggris. Dan hal lain yang perlu diketahui bahwa santri hanya boleh pulang ke rumah satu kali dalam sebulan dan harus dijemput oleh orang tua atau wali santri yang bersangkutan.

Adapun biaya pangkal untuk masuk ke Pesantren ini, kalau tahun lalu itu sebesar Rp. 5.800.000, biaya itu termasuk untuk pengadaan ranjang, kasur, bantal, lemari untuk menyimpan buku dan pakaian serta biaya makan, minum, pendidikan untuk satu bulan. Sedangkan untuk pakaian resmi sekolah lima stel pakaian Rp.1.000.000 dan untuk buku-buku lebih kurang Rp.1.000.000 juga. Adapun biaya tinggal, makan, minum, pendidikan setiap bulannya Rp.450.000.  Persyaratan utama masuk ke Pesantren ini tentu saja harus lulus tes membaca Al-Quran dan wawancara.

Bagi adik-adik yang berminat untuk masuk ke Pondok Pesantren Darel Hikmah Pekanbaru, segara daftarkan diri adik-adik, bawa photo kopi Buku Lapor, photo kopi Akte Lahir, Pas Photo 3x4=4 lembar dan datang langsung ke Pondok Pesantren Darel Hikmah Pekanbaru, Panam, berdekatan dengan Mall MTC Giant dan UNRI. Adik-adik akan langsung dites oleh Panitia Penerimaan Santri Baru dan akan langsung diumumkan pada hari tes itu juga lulus atau tidak lulusnya. Jangan sampai terlambat, sebab setiap tahun hanya 450 orang yang bisa diterim. Jadi siapa yang duluan mendaftar, dialah yang lebih berpeluang untuk masuk ke Pesantren ini. Welcome to Darel Hikmah Islamic Boarding School, Pekanbaru.*

Penulis adalah Santriwati Kelas XI IPS Madarasah Aliyah Darul Hikmah Pekanbaru, dari Kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir.

Monday, April 28, 2008

Kemana Mencari

Oleh: Zamhasari J. Naimah

Ilahi ......
Telah kaku lidahku di malam ini
Terasa membeku sum-sumku
Aku tak tahu pada siapa mencari
Yang aku bisa hanyalah mengadu padaMu

Ilahi .....
Telah kering air mataku di saat ini
Terasa meregang urat-urat kepalaku
Aku tahu semua ini akan terjadi
Tapi aku yakin padaMu

Ilahi .....
Telah menurun gairahku akhir-akhir ini
Terasa susah menghadapi lembaran-lembaran itu
Aku tak tahu bagaimana nanti
Tapi aku mohon Engkau membantuku

Ilahi .....
Kelu lidahku untuk berkata
Berat kepalaku untuk berpikir
Sesak dadaku untuk bernafas
Sholat dan doaku terasa hampa
Masihkah Engkau mendengarku?

Ilahi .....
Ku akui kezhalimanku
Ku akui aku malu minta padaMu
Tapi aku juga tak tahu kemana mencari
Terlalu besar, terlalu berat bagiku
Dan semua itu ada padaMu

Ya Allah Ilahi .....
Persembahkanlah ia padaku saat ini
Karena aku sangat memerlukannya
Kalau bukan padaMu
Kemana lagi aku mencari
Ilahi ..... sambutlah munajatku di malam ini.


Green Crescent, 19 Desember 2006
Pukul 23.30

Obor itu .....

Oleh: Zamhasari J. Naimah

Oh, engkaulah obor itu
Terang .....
Tak redup, tak terang
Semua terserah padamu

Kadang kau padam
Kadang kau menyala terang benderang
Kala itu .....
Aku tak tahu banyak tentangmu

Seiring perputaran waktu
Kau menerangi kegelapanku
Kau buka cakrawala pemandanganku
Kau singkap tabir kemalasanku
Kau giring aku ke lembah buku-buku
Kau telah banyak merubah jalan hidupku
Jalan yang selama ini ku cari
Dan ingin ku lewati

Cahayamu terlalu terang bagiku
Bagiku yang tahu menghidupkanmu
Kalaupun engkau dikata gelap
Karena mereka tak tahu dimana sumbumu

Mungkin seribu hari kita bersama
Tertawa dan bercanda
Sengketa boleh dikata tak pernah ada
Ku tinggal engkau dalam merana
Aku juga pergi dengan sederhana

Kau ajari aku untuk memanusiakan manusia
Melalui tulisan dan kata-kata
Ku dengar engkau akan pergi
Pergi tak tahu kapan kembali
Maafkan aku tak dapat mengantarmu
Aku yakin engkau memahamiku

Bila disini kau memang telah tiada
Ku harap nanti kita bersua
Di meja diskusi dan konferensi

Bagiku engkau adalah obor
Obor hati dan reformasi

Sungguhpun engkau di seberang India
Ku tunggu cahayamu di rumah maya kita
Bagiku engkaulah obor itu


Green Crescent, 19 Desember 2006
Pukul 23.55

Sebuah Pengalaman, Bukan Memetakan

(Catatan Editor untuk Kumpulan Cerpen, Sajak dan Esai ”Tafsir Luka”)

Oleh Hary B Kori’un

SUATU pagi di hari Minggu, saya mendapat pesan pendek (sms) dari seorang pengarang, isinya: “Saya sudah menunggu lebih dari empat pekan, tetapi naskah saya belum juga dimuat. Apakah memang tak layak muat? Kalau memang tak muat, saya tarik lagi naskah tersebut...” Sms tersebut datang dari salah seorang pengarang yang lumayan terkenal di Riau, bahkan karyanya sudah banyak menghiasi halaman budaya media nasional. Saya bisa maklum dengan pertanyaannya itu.

Di hari yang lain, saya mendapatkan e-mail dari seorang pengarang yang juga mengenal saya, kali ini, dia memang masih “yunior” baik dari segi usia maupun pergulatannya dengan dunia sastra. Katanya: “Saya bisa mengerti kalau naskah saya belum layak muat, saya minta masukannya agar suatu saat naskah saya layak untuk dimuat...”Di lain kesempatan, seorang pengarang sangat senior, menelepon saya. “Mengapa tulisan saya diedit lagi? Bukankah di naskah tersebut saya sudah memberi pesan agar naskah itu tidak perlu diedit. Saya tidak mau karena Anda mengedit, karakter saya hilang dan pembaca saya akan bingung...”

Pernah juga, seorang pengarang yang mengaku karyanya pernah dimuat di banyak media (herannya, tak satupun saya pernah membaca karyanya), marah-marah ketika saya katakan kepadanya tentang orisinilitas karyanya, juga keinginan saya untuk mengedit naskahnya. Terus terang, ketika membaca naskahnya (cerpen), saya sangat tertarik karena cerpen tersebut sangat bagus (menurut ukuran saya) dan saya akan memuatnya. Namun, kemudian saya bertanya-tanya, jika dia penulis berpengalaman, mengapa saya tak pernah membaca karyanya (saya tahu ini sangat subyektif), dan –ini yang membuat saya jadi curiga—penggunaan Bahasa Indonesianya, maksudnya ejaan yang benar, sangat “parah”. Membedakan “di” dan “ke” sebagai kata depan atau awalan saja, dia tidak bisa. Dia menulis “di rumah” dengan “dilakukan”
penulisannya sama. Ini belum yang lainnya.

Kemudian, e-mail-nya saya balas. Intinya saya menanyakan apakah benar ini karya aslinya, dan bolehkah saya mengedit bahasanya agar sedikit lebih benar dengan standar bahasa Indonesia yang dipakai koran, terutama Riau Pos. Namun ternyata balasannya sangat di luar dugaan saya. Begini isinya: “Jelas, itu karya asli saya. Dan saya tidak mau saya kehilangan karakter kalau naskah itu diedit. Sekarang to the point saja, apakah karya saya itu layak muat atau tidak. Kalau layak silakan dimuat apa adanya, kalau tidak ya tidak usah dimuat, biar saya kirim ke media lain!”

Cerita ini belum selesai. Suatu hari, seorang teman (yang kebetulan memang seorang penulis lumayan bagus untuk ukuran lokal Riau) menghubungi saya dan mengatakan bahwa dia sangat ingin naskahnya dimuat secepatnya karena dia perlu honornya. “Saya sedang bokek nih. Tolong ya frend...” Bahkan pernah, seorang pengarang yang katanya sangat senior dan saat ini menjadi figur publik, dengan setengah “memaksa” menelepon dan mengatakan bahwa dia punya naskah, dan, “Saya ingin dimuat untuk Ahad besok, kalau ditunda pekan depan sudah basi misi yang dikandungnya...” katanya dengan nada dingin. Dia mengirimkannya hari Sabtu siang, padahal halaman Budaya Riau Pos naskahnya sudah selesai diedit dan di-lay out pada Jumat malam. Dan ketika naskah itu ditunda pemuatannya alias tidak diturunkan pada Ahad itu, dia mengatakan bahwa baru kali itu ada seorang redaktur media di Pekanbaru “berani” menunda naskahnya. Wah!

Masih banyak lagi kisah-kisah yang saya alami selama menjadi “penjaga gawang” rubrik Budaya ini. Dan saya tetap bisa menikmatinya dengan santai dan tenang tanpa beban apapun. Sebab, membaca karya sastra dan budaya (menjadi editor harus membaca semua naskah sampai selesai, bukan?) bagi saya adalah menjaga kadar rasa bahasa itu sendiri. Dan meskipun dalam sehari-hari saya harus membaca naskah olahraga (dengan segala “kekerasan bahasanya”) dan sering harus menulisnya, saya tetap ingin menjaga kadar “rasa” bahasa itu.***

PENGALAMAN menghadapi beragam pikiran dan keinginan para penulis budaya di Riau ini seperti ilustrasi di atas, telah banyak memberi pelajaran berharga bagi saya untuk belajar memahami karakter masyarakat, terutama masyarakat budaya di Riau. Kondisi masyarakat pluralisme yang tumbuh di Riau terlihat benar dalam naskah-naskah yang dikirimkannya. Misalnya, penulis yang memiliki latar etnis Melayu, bisa terlihat dari naskahnya yang berusaha memakai banyak istilah Melayu dan ciri yang lainnya. Begitu juga dengan mereka yang berlatar etnis Minangkabau, Jawa maupun Batak, meski telah berusaha sehalus mungkin untuk tidak kelihatan “logat aslinya”, namun dalam naskah-naskah yang dibuatnya baik berupa cerpen, sajak, esai, resensi buku dan tulisan lainnya, masih terasa aroma latar etnisnya.

Namun, ini tetaplah sebuah fenomena menarik dan unik, yang barangkali tidak ditemukan di daerah lain. Bahwa salah satu kekayaan Riau yang harus dijaga adalah keanekaragaman budaya itu. Sebab, sejak dulu, dunia sastra Riau tumbuh dan berkembang tidak hanya digerakkan oleh satu etnis tertentu (meski dominasi Melayu sangat kuat dan itu hal yang memang semestinya terjadi) tetapi oleh keragaman tersebut. Misalnya, di luar nama-nama Melayu seperti Raja Ali Haji, Hasan Junus, Rida K Liamsi, Rus Abrus, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsudin, Idrus Tintin, Sy Bahri Judin, Al azhar, Fakhrunas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil, Kazzaini Ks hingga ke generasi Hang Kafrawi atau Syaukani Al Karim, ada terselip beberapa nama dari subkultur lain seperti Sudarno Mahyudin, Husnu Abadi, Sutrianto hingga Marhalim Zaini atau M Badri (Jawa yang tumbuh di Riau) atau Soeman Hs hingga Pandapotan MT Siallagan (Batak yang tumbuh di Riau), Oyrinson, Fitri Mayani dan yang lainnya (Minangkabau yang tumbuh di Riau) dan beberapa penulis lainnya dengan latar subkultur yang berbeda.

Tapi, saya benar-benar tidak sedang memetakan para penulis itu dari sisi etnis atau subkultur. Namun, yang lebih penting adalah bahwa keragaman itu telah dan tetap menumbuhkan semangat dunia sastra dan budaya dengan satu latar besar, yakni Riau. Pernah seorang kritikus asal Jakarta bertanya kepada saya tentang tidak banyaknya karya sastra orang Riau yang dimuat di koran-koran Jakarta yang selama ini dianggap sebagai standar seseorang bisa disebut sastrawan atau tidak. Menurutnya, hanya ada beberapa penulis Riau yang pada masa-masa ini masih aktif menulis di koran Jakarta yakni Taufik Ikram, Fakhrunnas MA Jabbar, Abel Tasman, Marhalim Zaini. Menurutnya, harus ada gerakan budaya dari para sastrawan Riau untuk menjelaskan kepada publik Indonesia bahwa Riau adalah salah satu potensi besar di dunia sastra dan kebudaya. Dan jalan untuk ke sana adalah dengan berkarya dan dimuat di media nasional.

Saya tidak menyalahkan apa yang dikatakan kritikus tersebut, namun kemudian saya memberi fakta yang barangkali menjadi bahan renungan dan pemikiran dirinya untuk membaca peta sastra, terutama Riau. Sebagai editor budaya di sebuah harian di Pekanbaru, saya merasakan ada detak yang hidup dan akan terus hidup dari para penulis muda yang tentu saya melihatnya dari naskah sastra yang mereka kirimkan ke Riau Pos. Mereka adalah anak-anak muda yang saya yakin pada masanya nanti akan menemukan dirinya, sedang berada di mana dalam peta sastra Riau atau Indonesia. Anggaplah generasi “tua” secara umur dan pergulatannya di sastra seperti Taufik Ikram, Fakhrunas, Abel atau yang lebih yunior seperti Marhalim tetap akan eksis, tetapi di belakang mereka telah muncul generasi yang sebenarnya berpotensi untuk tumbuh suatu saat nanti. Sebut saja ada Musa Ismail, Gde Agung Lontar, Ramon Domora, Murparsaulian, Olyrinson, M Badri, Fitri Mayani, Pandapotan MT Siallagan (kini pindah ke Medan), Sobirin Zaini, Ellyzan Katan, Aleila, Fariz Iksan Putra, Saidul Tombang, Sobirin Zaini, Syaiful Bahri, Muhalib, Jefri Malay (sudah eksis sebagai vokalis Sagu Band) dan beberapa nama lainnya yang terlewatkan di sini. Mereka tetap berkarya dalam berbagai genre baik itu cerpen, sajak, esai, naskah drama dan yang lain. Detak inilah yang saya rasakan tetap terasa sejak lima tahun lalu saya tinggal di Riau dan selama dua tahun terakhir menjaga gawang rubrik Budaya di
Riau Pos.

Kemudian, saya katakan kepada teman kritikus tersebut: apakah dalam kondisi zaman yang sudah berubah dan pertumbuhan media massa begitu pesat di daerah, Jakarta masih merasa dirinya sebagai pusat dari segala yang kemudian dikatakan sebagai “Indonesia” dan “nasional” itu? Bukankah “Indonesia” dan “nasional” itu sudah ada di mana-mana? Bukankah itu hanya keegoisan Jakarta yang tetap ingin disebut sebagai pusat dari segalanya? Barangkali tesis saya ini tidak kuat dan sangat mungkin akan diperdebatkan. Namun, pada masa pertumbuhan sastra di Indonesia, beberapa daerah di Sumatera seperti Padang dan Medan pernah menjadi pusat atau kantong kebudayaan yang tidak harus tergantung kepada Jakarta. Saat ini, barangkali, Yogyakarta dan Bandung, telah “menjelaskan” bahwa daerah juga bisa menjadi pusat kebudayaan dengan “perlawanan” budaya yang mereka lakukan lewat berbagai kegiatan budaya, salah satunya adalah dengan intens menerbitkan buku-buku budaya, tanpa harus secara lantang meneriakkan kata perlawanan.***

Buku Tafsir Luka ini diterbitkan bukanlah dengan membawa beban besar sebagai alat untuk perlawanan itu. Buku kumpulan cerpen, sajak dan esai yang pernah diterbitkan di rubrik “Budaya” harian Riau Pos sepanjang tahun 2005 ini, hanyalah ingin menjadi pemacu bagi para penggiat sastra dan budaya di Riau untuk terus bercermin, juga sebagai pencatat waktu perjalanan karya selama setahun. Tidak semua cerpen, sajak dan esai yang terbit di Riau Pos sepanjang tahun 2005 masuk dalam kumpulan ini, sebab tetap ada penilaian dan seleksi yang untuk menentukan lolos atau tidaknya, penilaiannya sangat relatif.

Selain itu, seperti dalam kumpulan cerpen tahun 2004, Seikat Dongeng Tentang Wanita, buku Tafsir Luka ini juga mencoba mengakomodasi para penulis lokal Riau, terutama untuk cerpen dan sajak. Sedang untuk esai, munculnya beberapa nama dari luar Riau seperti Wannofri Samry (Padang), pertimbangan yang diambil adalah dari nilai guna naskah bagi pembaca secara luas. Buku ini, jelas bukan sebuah karya yang istimewa dan terbebas dari kesalahan. Namun, yang istimewa, menurut saya, adalah eksistensi dari Riau Pos sendiri yang hingga hari ini selalu tertib dan tetap memberikan apresiasi kepada para sastrawan/budayawan daerah ini untuk terus berkarya dan kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku kumpulan cerpen, sajak dan esai terpilih ini. Jelas, dengan kata “terpilih” berarti ada yang istimewa dari karya-karya yang termaktub dalam buku ini karena tentu menyisihkan karya yang tidak terpilih dengan segala relativitas penilaiannya.***

Hary B Kori’un adalah editor buku Kumpulan Cerpen, Esai dan Sajak Terpilih Riau Pos 2005, Tafsir Luka. Tulisan ini dikutip dari Riau Pos, 18 Desember 2005